Iman Kepada Takdir: Allah Pencipta Segala Sesuatu
Bersama Pemateri :
Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas
Iman Kepada Takdir: Allah Pencipta Segala Sesuatu adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas pada Sabtu, 8 Rajab 1442 H / 20 Februari 2021 M.
Ceramah Agama Islam Tentang Iman Kepada Takdir: Allah Pencipta Segala Sesuatu
Tingkatan qadar ada 4 tingkatan, yaitu:
- Al-‘Ilmu (Ilmu)
- Al-Kitaabah (Penulisan)
- Al-Masyiiah (Kehendak)
- Al-Khalq (Penciptaan)
Poin 1-3 sudah dibahas pada pertemuan sebelumnya: Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk
Yang terakhir kita bahas adalah tentang hidayah dan kesesatan. Allah menunjuki siapa saja yang Allah kehendaki dan Allah sesatkan siapa yang Allah kehendaki.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ ۗ مَن يَشَإِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَن يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah dalam kesesatan, niscaya disesatkanNya. Dan barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah untuk diberi petunjuk, niscaya Allah menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” (Al-An’aam [6]: 39)
Masalah hidayah dan kesesatan di tangan Allah. Dan Allah tidak pernah berbuat dzalim kepada hamba-hambaNya. Disebutkan dalam hadits:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، عَنِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ: يَا عِبَادِي إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً فَلاَ تَظَالَمُوْا
“Dari Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Allah Tabaraka wa Ta’ala, Allah berfirman: “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman terhadap Diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi…” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Hibban)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
لَوْ أَنَّ اللهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ لَكَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْراً لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ…
“Jika seandainya Allah menyiksa seluruh penghuni langit dan bumi, maka Allah tidak berbuat dzalim dengan menyiksa mereka. Jika seandainya Allah merahmati mereka, maka rahmatNya itu benar-benar lebih baik bagi mereka dari amal perbuatannya…” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)
Allah yang memiliki langit dan bumi, Allah yang menciptakan. Kalau seandainya Allah menyiksa penghuni langit dan bumi, Allah tidak dzalim karena itu semua milik Allah. Allah berkehendak dengan apa yang Allah inginkan, tetapi Allah tidak dzalim.
4. Al-Khalq (Penciptaan)
Allah Maha Pencipta atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang belum ada. Oleh karena itu, tidak ada satu makhluk pun di bumi atau di langit, melainkan Allah-lah yang menciptakannya, tiada pencipta selain Allah, tidak ada ilah melainkan hanya Allah saja.
Sebagaimana firmanNya:
لَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Allah pemelihara atas segala sesuatu.” (Az-Zumar[39]: 62)
Meskipun segala sesuatu yang ada telah Allah taqdirkan, akan tetapi Allah tetap memerintahkan hamba-hambaNya untuk taat kepadaNya, serta taat kepada RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta melarang mereka durhaka kepada Allah. Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa, berbuat baik, berlaku adil, dan meridhai orang-orang yang beriman lagi beramal shalih. Akan tetapi Allah tidak mencintai orang-orang kafir, tidak meridhai orang-orang fasiq, Allah tidak memerintahkan untuk berbuat keji, tidak meridhai kekafiran bagi hambaNya dan tidak menyukai kerusakan.
Manusialah yang benar-benar melakukan suatu perbuatan, sedangkan Allah yang menciptakan perbuatan mereka itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash-Shaaffaat[37]: 96)
Manusia dan jin ada yang mukmin, ada yang kafir, ada yang taat, ada yang maksiat, ada yang shalat, ada pula yang tidak shalat, ada yang bersyukur, dan ada juga yang tidak.
Manusia mempunyai kekuasaan atas perbuatan mereka, serta mereka pun mempunyai keinginan. Tetapi Allah-lah yang menciptakan mereka serta menciptakan kekuasaan (kemampuan) dan keinginan mereka itu, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Yaitu bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takwir[81]: 28-29)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila Allah menghendaki. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”(Al-Insan[76]: 30)
Tingkatan-tingkatan qadar ini diingkari oleh seluruh golongan Qadariyyah, yang mereka disebut oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai Majusi ummat ini.
Qadariyyah dikatakan sebagai Majusinya ummat ini, karena keyakinan dan pendapat mereka menyerupai agama Majusi tentang adanya dua sumber, yaitu cahaya dan kegelapan. Mereka menyangka bahwa kebaikan berasal dari perbuatan cahaya sedangkan kejelekan berasal dari kegelapan. Begitu pula Qadariyah, mereka menyandarkan kebaikan kepada Allah dan menyandarkan kejelekan kepada manusia dan setan. Padahal Allah menciptakan keduanya secara bersamaan. Tidak akan terjadi sesuatu dari keduanya melainkan dengan kehendak Allah, keduanya disandarkan kepadaNya tentang penciptaan dan kejadiannya. Dan disandarkan kepada orang yang melakukannya sebagai perbuatan dan usaha manusia.
Ada juga sebagian golongan yang berlebih-lebihan dalam masalah qadar ini, sampai-sampai mereka tidak mengakui adanya kekuasaan dan kebebasan dalam diri manusia, serta mereka menolak adanya hikmah serta maslahat dalam perbuatan dan ketentuan (hukum) Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Iraadah (keinginan) dan amr (perintah) yang tercantum di dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah ada dua macam:
- Iraadah Kauniyyah Qadariyyah (kehendak yang berkenaan dengan takdir Allah terhadap alam semesta) yang pengertiannya sama dengan masyii-ah, dan amr kauniy qadariy.
- Iraadah Syar’iyyah (kehendak yang berkenaan dengan syariat atau apa yang dicintai Allah dalam agama) yang berarti taqdir yang di-sukai dan dicintai oleh Allah dan amr syar’i.
Ahlus Sunnah menetapkan bahwa makhluk, dengan segala tingkah lakunya adalah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya Dia-lah Sang Pencipta. Allah-lah yang menciptakan tingkah laku dan perbuatan mereka. Makhluk mempunyai keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya itu mengikuti keinginan dan kehendak Al-Khaliq. Ahlus Sunnah menetapkan bahwa segala yang diperbuat Allah ada hikmahnya dan segala usaha akan membawa hasil atas kehendak Allah Jalla Jalaluhu.
Berdalih dengan taqdir boleh dilakukan terhadap musibah dan cobaan, namun tidak boleh sekali-kali berdalih dengan taqdir atas perbuatan dosa dan kesalahan. Orang-orang yang berbuat dosa dan maksiat harus bertaubat dari perbuatan mereka yang tercela. Bersandar kepada usaha saja adalah termasuk syirik dalam tauhid, sedangkan meninggalkan usaha sama sekali berarti menolak ajaran agama. Pendapat yang menyatakan bahwa usaha tidak ada pengaruh dan hasilnya, merupakan pendapat yang bertentangan dengan ajaran agama dan akal. Sebab tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berarti meninggalkan usaha.
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (wafat th. 321 H) Rahimahullah berkata: “Taqdir adalah rahasia Allah yang tidak dapat diketahui oleh hambaNya. Tidak dapat diselidiki baik oleh Malaikat yang dekat denganNya ataupun Nabi yang diutusNya. Memberat-beratkan diri untuk menyelidiki hal itu adalah jalan menuju kehinaan, terhalangnya (ilmu) dan membawa kepada sikap melewati batas dan penyelewengan. Waspada dan berhati-hatilah terhadap seluruh pendapat, pemikiran dan bisikan-bisikan (yang jelek) tentang takdir tersebut. Sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu telah menutup ilmu tentang takdirNya agar tidak diketahui oleh makhlukNya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana firmanNya:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi mereka-lah yang akan ditanyai.” (Al-Anbiyaa/21′: 23)
Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa Allah melakukannya? Kenapa Dia berbuat begini dan begitu?” maka sungguh, ia telah menolak hukum dari Al-Qur-an. Dan barangsiapa yang menolak hukum Al-Qur-an, maka ia termasuk orang kafir.
Kewajiban seorang mukmin adalah beriman kepada takdir baik dan buruk. Wajib seorang mukmin beramal sesuai syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download Mp3 Kajian Tentang Iman Kepada Takdir: Allah Pencipta Segala Sesuatu
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49975-iman-kepada-takdir-allah-pencipta-segala-sesuatu/